Minggu, 05 Agustus 2007

TEBING BUNGA LILY

Dikisahkan, di tepian tebing yang terjal dan terpencil, tumbuhlah satu tunas bunga lily. Saat tunas bunga lily mulai tumbuh, dia tampak seperti sebatang rumput biasa. Walau tampak seperti sebatang rumput biasa, si tunas muda ini merasa yakin bahwa suatu saat nanti dirinya akan berubah menjadi bunga lily yang cantik mempesona. Tetapi rumput-rumput liar di sekitarnya menertawakan dan mengejeknya. Bahkan burung-burung dan serangga pun menasehatinya supaya si tunas lily berhenti bermimpi menjadi bunga yang indah. Kata mereka," Sekalipun kamu bisa mekar menjadi bunga lily yang cantik, tetapi karena kamu berada di tebing yang terpencil, maka tidak ada seorang pun yang akan datang melihat dan menikmati keindahanmu."

Diejek seperti itu, tunas bunga lily tetap diam. Bahkan ia semakin rajin menyerap air dan memanfaatkan sinar matahari untuk memperkuat pertumbuhan akar dan batangnya. Akhirnya, suatu pagi di musim semi kuncup pertama pun tumbuh. Bunga lily merasa senang sekali. Usahanya tidak sia-sia dan hal itu menambah keyakinan maupun kepercayaan dirinya. Bunga lily berkata kepada diri sendiri,"Aku akan mekar menjadi sekuntum bunga lily yang indah. Kewajibanku sebagai bunga adalah mekar dan berbunga. Tidak peduli apakah akan ada orang menikmati keberadaanku atau tidak. Aku tetap harus mekar dan berbunga sesuai dengan jati diriku sebagai bunga lily."

Hari demi hari, waktu terus berjalan. Akhirnya, kuncup bunga lily pun mekar dan menebar bau yang harum di sekitarnya. Kini tampaklah keindahan bunga berwarna putih yang sempurna. Saat itulah, rumput liar, burung-burung dan serangga tidak berani lagi mengejek atau menertawakan si bunga lily.
Bunga lily pun tetap rajin memperkuat akar dan bertumbuh terus. Dari hanya satu kuntum menjadi dua kuntum bunga, berkembang lagi dan terus berkembang, sampai akhirnya tepian tebing pun diselimuti oleh hamparan putih bunga-bunga lily yang indah dan mempesona. Tebing terjal dan terpencil itu pun akhirnya berubah menjadi taman bunga lily yang sangat indah dan menarik hati. Tempat yang semula sepi itu kini dikunjungi banyak orang. Baik dari kota maupun dari desa, semua berdatangan untuk menikmati keindahan permadani putih bunga lily tersebut. Akhirnya, tempat itu dikenang banyak orang dan terkenal dengan sebutan Tebing Bunga Lily.

Cerita ini mengingatkan pada kita, bahwa kondisi kehidupan manusia disegala lapisan status sosial, sering juga mengalami penganiayaan dan penghinaan seperti kisah yang dialami oleh bunga lily.Saat kita memiliki impian, ide, cita-cita atau apa pun yang menjadi keyakinan kita, kadang karena keadaan kita sendiri yang lemah saat ini, memungkinkan orang lain menertawakan, memandang rendah, bahkan menghina kita. Sebenarnya hal seperti itu adalah sebuah fenomena yang wajar saja.Jangan peduli ejekan orang lain, jangan takut dianggap remeh oleh orang lain, tidak perlu menanggapi semua itu dengan emosi, jengkel, marah apalagi membenci. Sebaliknya, kita jadikan keraguan dan ejekan tersebut sebagai cambuk untuk memperkuat tekad dan usaha untuk mencapai tujuan. Tetap yakin dan berjuang dengan segenap kemampuan yang ada, buktikan semua mimpi dapat diperjuangkan menjadi kenyataan.
Selaras dengan pepatah yang menyatakan "A great pleasure in life is doing what people say, you cannot do!"Kepuasan terbesar dalam hidup ini adalah mampu melakukan apa yang dikatakan orang lain tidak dapat kita lakukan.Menghadapi segala kesangsian dan keraguan orang lain, hanya satu jawabannya:
BUKTIKAN BAHWA KITA BISA! KITA MAMPU! HANYA DENGAN BUKTI KESUKSESAN yang MAMPU KITA CIPTAKAN, MAKA JATI DIRI KITA LAMPAT ATAU CEPAT PASTI AKAN DIAKUI, PASTI AKAN DITERIMA.
(disadur ulang dari Wisdom Success, Andrie Wongso)

Rabu, 25 Juli 2007

A SPLASH WATER: SEORANG PENJUAL KORAN

Seminggu yang lalu, saya mendapat kiriman sms dari seorang teman saya, sebut saja dia si A. Isi sms tersebut membuat saya lebih aware tentang pentingnya menghargai orang sekitar dan terutama mitra usaha. Isi sms itu sebenarnya sangat sederhana, hanya menceritakan pengalaman si A pagi itu. Namun bagi saya, seperti percikan air dingin yang mengingatkan saya akan satu hal yang sempat terlupakan.
Ceritanya begini. Setiap Sabtu dan Minggu pagi, bapak penjual koran di sekitar kos si A mengantarkan koran ke depan pintu kamarnya. Karena berencana pindah kos ke daerah yang cukup jauh, si A menghentikan langganan korannya. Hari itu adalah hari Minggu terakhir bulan November. Bapak penjual koran mengetuk pintu kamar si A (biasanya si Bapak ini hanya meletakan korannya di depan pintu saja). Maka, si A pun membuka pintu dan menemukan si bapak berdiri di depannya.
Si A pun menanyakan ada masalah apa kepada si Bapak penjual koran ini. Si Bapak dengan sikap yang rendah hati dan tulus berkata, “Maaf, Mas. Bapak cuma mau berterima kasih karena Mas telah berlangganan koran. Hari ini kan hari yang terakhir, mohon maaf kalau selama ini ada yang salah...”
Saat bapak penjual koran selesai mengucapkan kata-katanya, langsung terbesit perasaan sedih dan haru di hati si A. Si A merasakan begitu berat untuk menghentikan langganannya walaupun dia memang sudah harus pindah.
Bukan hanya si A yang merasa terharu. Saya yang membaca smsnya saja merasa seperti disiram air dingin. Bekerja di perusahaan yang target tahunnya bermiliar-milyar rupiah, belum pernah saya mengucapkan terima kasih dan maaf yang begitu tulus kepada klien-klien saya. Begitu pula dengan teman-teman kerja saya, belum pernah saya dibuat sadar seperti ini. Sebagai informasi tambahan, nilai langganan si A selama setahun sekitar Rp400 – 500 ribu dan si A hanya bertahan selama 1 tahun di kos tersebut.
Lesson to be learned
Mungkin saja cerita ini begitu kecil bagi sebagian orang. Tapi mungkin sekedar untuk mengingatkan kita semua akan pentingnya rasa menghargai, cerita ini cukup bagus sebagai alarm bagi kita semua. Kapan terakhir kita benar-benar menghargai sahabat, hadiah, pekerjaan, atau klien yang kita miliki?
Banyak yang berkoar-koar tentang betapa pentingnya network, betapa luasnya network yang mereka miliki, tapi sebagian mungkin masih harus belajar dari si Bapak penjual koran di atas. Reaksi teman saya, si A adalah bukti paling nyata bahwa betapa pentingnya rasa dihargai bagi seorang klien. Saya yakin bila si A masih punya kesempatan, maka dia tidak akan menghentikan langganannya.
Bila Anda tidak percaya, cobalah lakukan dalam keseharian Anda. Perhatikan perubahan yang terjadi pada Anda dan orang-orang di sekitar Anda, klien-klien Anda. Mulailah dengan hal yang paling kecil, mengucapkan terima kasih dan maaf dengan tulus kepada siapa pun, bahkan seorang sopir, bawahan, penjual buah , dll.
Semoga langkah-langkah tersebut bisa membuat hidup Anda lebih berkualitas. (Oleh: Joycelina)